Millennial Jangan Buta Politik

Jakarta (10/01/19)


Negara kita pada tahun 2019 ini akan menyelenggarakan Pemilihan Presiden dan para anggota legislatif di semua tigkatan wilayah secara serentak. Pesta demokrasi akan dilaksanakan pada bulan April 2019. Pemilihan Presiden ini akan menentukan pemimpin yang terbaik untuk bangsa Indonesia ke depannya dalam kemajuan global yang sangat pesat.

Generasi millennial atau kaula muda banyak yang buta sekali tentang politik di Indonesia. Menurut mereka, politik adalah tempatnya konvegensi dan provokatif. Benarkah demikian?

Dapat dikatakan politik itu kotor. Karena semakin dekatnya dengan kekuasaan, seseorang akan terus berusaha mendapatkannya walau memakai cara yang tidak pantas. Jika terus seperti ini, lalu bagaimanakah untuk menghentikannya?

1. Yang paling banyak akan menentukan jumlah total suara adalah "Generasi Millennial"




Suara generasi millennial ini menjadi daya tarik tersendiri dan sangat memperngaruhi keseluruhan total pemilihan. Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, sebanyak 40 persen dari 171 daerah partisipan pilkada serentak 2018 merupakan pemilih pengguna yang notabene adalah millennial.

Jumlah 40 persen bukan angka yang kecil, hampir keseluruhan suara dari generasi millennial. Hal ini menjadi kesempatan bagi instansi terkait untuk menumbuhkan minat berpolitik. Agar meminimalisir jumlah golput saat pemilu sedang berlangsung.

2.  Melalui Pemilu awal menuju gerbang perubahan



Pemilu bukan hanya menjadikan persaingan antara kedua kubu, melainkan pemilu bagaikan sebuah pesawat, pilihlah pilot yang terbaik agar dapat menjalankannya dengan baik sampai pada tujuan.

Masa depan negara juga tergantung pada masyarakat itu sendiri. Jangan hanya menuntut perubahan tetapi bersikap apatis. Jeli lah dalam memilih pemimpin agar tidak menyesal 5 tahun mendatang.

3. Kalau bukan kita, siapa lagi?



Sekarang saatnya generasi millennial untuk tidak buta akan politik. Politik memang banyak konvergensi dan manipulasi serta provokatif. Namun, politik hanya sebuah ilmu dari sosial, orang yang menjalaninya yang bermain kotor. Suka tidak suka politik akan tetap ada sekaran dan seterusnya.

Kalau bukan kita yang merubah, siapa lagi?


Comments